REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) siap membangun 2.000 unit Toko Tani Indonesia (TTI) pada tahun 2020 ini. Pendirian TTI yang lebih tersebar diharapkan dapat membantu dalam upaya stabilisasi harga pangan pokok sebab pangan dijual di bawah rata-rata harga pasar.
Kepala Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan, Badan Ketahanan Pangan Kementan, Risfaheri mengatakan, pembangunan TTI pada tahun ini dilakukan di kota dan kabupaten yang tersebar dalam 22 provinsi. Ia mengatakan, pendirian TTI tidak berarti harus dilakukan dengan membangun gedung baru.
Namun, toko-toko yang dikelola oleh masyarakat bisa merangkap menjadi TTI. Asalkan, pemilik toko sanggup untuk terus menerima dan menjaga produk pangan yang dipasok oleh Toko Tani Indonesia Centre sebagai pusat distribusi.
“Sebetulnya, mengatasi gejolak harga tidak cukup hanya dengan TTI. Tapi ada kontribusinya secara riil dari sisi efek psikologi pasar,” kata Risfaheri kepada Republika.co.id, Rabu (1/1).
Tahun 2019 lalu, total TTI yang didirikan sebanyak 1.198 unit dan dipasok dari 500 gapoktan. Adapun secara kumulatif kurun waktu 2015-2019, TTI yang telah dibangun mencapai 5.051 outlet yang tersebar di 32 provinsi.
Pendapatan yang diperoleh dari TTI juga cukup besar. Risfaheri mengungkapkan, akumulasi omset seluruh TTI yang ada sepanjang tahun 2019 mencapai Rp 115,3 miliar. Keberadaan TTI yang terus menyebar menjadi alternatif masyarakat untuk mendapatkan bahan pangan pokok ketika terjadi kenaikan harga di pasar tradisional.
Itu sebabnya, kata dia, TTI memiliki efek psikologis yang kuat sehingga membantu meredam fluktuasi harga. Meskipun, kapasitas distribusi dan logistik barang ke TTI juga sangat kecil jika dibandingkan dengan pasar-pasar tradisional maupun ritel modern.
Risfaheri mengatakan, seluruh bahan pangan pokok yang di jual di TTI lebih murah dari rata-rata harga pasar namun dengan kualitas yang sama. Harga lebih murah karena TTI memangkas rantai produksi dari sembilan rantai menjadi tiga rantai. Pasokan dikirim langsung dari 899 gabungan kelompok petani (Gapoktan) yang memproduksi pangan pokok.
Sebagai contoh, harga beras setara kualitas medium yang dijual di TTI maksimal Rp 8.800 per kilogram (kg), jauh di bawah rata-rata harga pasar sebesar Rp 9.000 per Kg-Rp 10.000 per Kg.
Dirinya menjelaskan, harga itu bisa diterapkan karena gapoktan memasok beras ke TTI dengan harga Rp 8.200 – Rp 8.500 per kilogram. Karenanya, dengan harga Rp 8.000 per kg, maka TTI sudah bisa mendapatkan margin yang digunakan untuk operasional. TTI di setiap daerah mendapatkan pasokan dari gapoktan setempat yang sudah dikerjasamakan.
“Begitu juga dengan cabai, daging beku, bawang, gula dan komoditas yang lain semua harganya lebih murah,” ujarnya.
Pasar Tradisional
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri meminta pemerintah untuk meningkatkan perhatian kepada pasar tradisional. Pasalnya, selama tahun 2019 telah terjadi lebih dari 200 kasus kebakaran pasar yang menelan kerugian hingga miliaran rupiah. Ikappi mencatat, setidaknya ada 10.088 unit kios dan ruko yang terbakar dengan puluhan korban jiwa.
“Tidak hanya masalah harga kebutuhan pokok yang sering mencekik, tapi keamanan terhadap para pedagang pasar pun tidak menjadi perhatian sama sekali,” kata Mansuri dalam keterangan resminya, Ahad (31/12).
Situasi tersebut, menurut Mansuri, menjadi momok yang mengerikan bagi masyarakat kecil yang menggantungkan hidupnya di sektor perdagangan khusus pasar tradisional. Terlebih lagi, uluran tangan pemerintah minim.
Berkaca dari kasus-kasus kebakaran yang kerap terulang, ia menilai pasar tradisional di Indonesia masih sangat rawan terhadap masalah kebakaran. “Angka kebakaran ini mengalami kenaikan signifikan dalam tiga tahun terakhir menunjukkan ketidakpedulian pemerintah terhadap masyarakat kecil,” katanya.