Site icon mediatokotani.com

Bersama Kedelai, Harapan Warga Cibulan Kini Terbang Tinggi

Ketika harga kacang kedelai mengguncang pasar domestik hingga global, Saleh (60), petani kedelai di Desa Cibulan, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, justru tidur nyenyak. Bersama kedelai, ia dan warga Cibulan lainnya ikut mengubah segala keterbatasan menjadi ragam keunggulan.

Meski dipayungi mendung, semangat Saleh tidak surut, Selasa (5/1/2021) siang. Ditemani 10 rekannya, dia lebih banyak tersenyum sembari terus menegangkan otot memadatkan tanah di sekitarnya. Saleh bahagia karena terlibat dalam proses pembangunan Agro Edukasi Wisata Kedelai yang ditargetkan rampung bulan depan.

Agro Edukasi Wisata itu diyakini bakal menjadi wadah bagi petani untuk menjual hasil panennya, lalu diolah menjadi tahu, tempe, keripik, hingga dodol kedelai. Nantinya, pengunjung dapat melihat langsung cara menanam kedelai di eks galian pasir hingga menikmati produk olahannya.

”Kacang (kedelai) hasil tani dijual ke sini. Terus dibuat tahu dan tempe. Setelah kacang kedelai diolah, warga bisa semakin sejahtera,” kata Saleh.

Saleh belum lama menjadi petani kedelai. Selama 20 tahun, ia berjualan gorengan di Jakarta. Lulusan SD ini terpaksa merantau karena sempitnya lowongan pekerjaan di desa dengan ijazah seadanya.

Akan tetapi, hidup di Ibu Kota juga tidak mudah. Dia harus banting tulang. Saleh mengenang, setiap subuh harus ke pasar mencari bahan-bahan jualan. Semuanya lantas dibawa ke kawasan Blok M untuk digoreng dan dijajakan.

Akan tetapi, keras perjuangannya tidak seimbang dengan penghasilan yang didapat. Biasa kembali ke rumah kontrakan sekitar pukul 20.00, Saleh paling banyak mengumpulkan Rp 2 juta per bulan. ”Tidur tidak tenang karena mikir besok belanja apa, ya? Ubannya cepat keluar,” kenangnya.

Jalan hidupnya mulai berubah pada 2018. Saleh mendengar Pemerintah Desa Cibulan bakal menggulirkan revitalisasi lahan bekas tambang galian C yang diperkirakan luasnya mencapai 100 hektar di desanya.

Lahan itu terbengkalai karena penuh lubang besar setelah ditinggal pengusaha. Harapannya, revitalisasi bisa membantu melepaskan jerat kemiskinan warga dan stigma sentra galian C yang melekat selama 18 tahun terakhir di Cibulan.

”Gincu” yang dipilih untuk bersolek adalah kacang kedelai. Ada beberapa alasan di balik pilihan itu, mulai dari meminimalkan kerugian dari hama babi hutan jika menanam jagung hingga masih minimnya petani yang mau menanam kedelai karena harganya dianggap tidak menentu.

Perhitungan itu bukan tanpa alasan. Sekitar 90 persen dari kebutuhan dalam negeri sekitar 2,6 juta ton kedelai per tahun masih bergantung pada impor. Swasembada kedelai dicanangkan dari berbagai rezim belum terwujud hingga kini. Produksi kedelai nasional paling tinggi pada 1992, yakni 1,87 juta ton. Setelah itu, jumlahnya terus turun.

Di antara semua tantangan itu, nyali Pemerintah Desa (Pemdes) Cibulan tak ciut. Pemdes memfasilitasi lahan dan upah olah tanah Rp 100.000 per 1.400 meter persegi bagi warga yang ingin bertani kedelai. Pupuk dan benih disediakan Kementerian Pertanian.

Saleh pun tertarik. Sudah dikasih lahan gratis, dapat uang pula. Ia memilih tinggal di kampung halaman ketimbang kembali ke kota. Kini, ia menjadi bagian dari 200 warga yang menjadi petani kedelai di lahan itu.

Sejauh ini, hasilnya memuaskan. Dari 5.600 meter persegi lahan eks galian C yang dikelola tahun lalu, ia meraup 5 kuintal kedelai. ”Hasilnya dijual ke BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) Cibulan. Harganya Rp 8.000-Rp 9.000 per kilogram,” ucapnya.

Artinya, selama 75 hari menanam kedelai, ia bisa memetik lebih dari Rp 4 juta. Ini belum termasuk penjualan panen pisang yang ditanam di sekitar kedelai. Jika dihitung, penghasilannya bisa lebih banyak dibandingkan dengan saat merantau di Jakarta.

”Sekarang lebih enak di kampung. Saya bisa tidur nyenyak. Apalagi, saat ini ada korona (Covid-19). Banyak teman yang pulang ke kampung karena jualannya enggak laku,” katanya.

Kedelai juga turut mengubah hidup Tarpin (44), Ketua Gabungan Kelompok Tani Cinta Asih. Sebelum bersentuhan dengan kedelai, sekitar 10 tahun dia menjadi petambang. Dia harus bertaruh nyawa dengan petambang lain demi mendapat jatah mengeruk pasir. Saking banyaknya yang berebut hidup di tambang, warga digilir bekerja sehari semalam setiap sepekan. Upahnya menggiurkan, Rp 500.000 per hari.

”Tapi, risikonya besar. Ada satu warga yang meninggal karena tertimbun. Sawah warga juga rusak kena longsoran galian,” ungkapnya. Tidak jarang, warga berseteru satu sama lain akibat dampak galian.

Kini, ia tidak lagi memikirkan itu. Dengan kedelai, ia bisa memenuhi kebutuhan harian keluarga hingga memayar biaya sekolah empat anaknya. ”Kemarin, hasil panen kedelai bisa dipakai bayar sekolah anak Rp 3 juta,” kata Tarpin yang mengolah lahan 4 hektar dengan hasil lebih dari 1 ton kedelai per hektar.

Baginya, bertani kedelai lebih hemat dibandingkan dengan padi. Sebagai contoh, ia mengeluarkan sekitar Rp 1 juta untuk biaya pengolahan lahan. Tidak ada biaya untuk sewa lahan hingga pupuk. Pemasaran hasil panennya pun mudah.

Harga ditawarkan BUMDes tidak pernah menyentuh Rp 6.000 per kg, seperti di tengkulak. Bahkan, hasil panen petani diolah menjadi tempe, tahu, kerupuk, hingga dodol kedelai. Harga bisa dua kali lipat lebih tinggi.

Sementara untuk menanam padi di area 2.800 meter persegi, ia setidaknya menghabiskan Rp 2 juta. Hasilnya, sekitar 8 kuintal hanya cukup untuk konsumsi keluarga, bukan dijual. Kedelai juga tidak membutuhkan banyak air.

Udin Suhardin, petugas penyuluh pertanian yang mendampingi petani, mengatakan, salah satu kendala penanaman kedelai adalah kondisi tanah bekas galian C. Kadar pH tanahnya berkisar 3,5-5,5. Padahal, idealnya pH 6-6,5. Akibatnya, produktivitasnya pun saat pertama digarap hanya berkisar 1,2 ton per hektar. Namun, setelah diberi pupuk organik dan kapur, kondisi tanah mulai membaik dan produktivitas bisa lebih dari 2 ton.

Sejauh ini, kiprah para petani Cibulan bisa jadi turut meningkatkan produksi kedelai di Kuningan. Tahun 2019, tercatat ada 600 ton kedelai dari daerah itu. Panen diambil dari luas lahan 500 hektar dengan produksi 1,2 ton per hektar. Meski belum menjadi penyumbang besar bagi total produksi di Jabar sekitar 150.000 ton, kedelai Kuningan sudah dikirim ke daerah tetangga, seperti Cirebon, Indramayu, dan Majalengka.

Kepala Desa Cibulan Iwan Gunawan mengatakan, tahun ini, pihaknya akan menanam kedelai di lahan 100 hektar. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan 2018 yang hanya seluas 75 hektar. Pihaknya juga sudah menandatanganii nota kesepahaman bersama Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia untuk menyerap hasil panen petani. Acara itu difasilitasi Kementerian Pertanian.

”Kepercayaan ini tentunya amanah yang luar biasa. Oleh karena itu, kami bersama petani kedelai siap untuk menyukseskan program ini,”  kata Iwan.

Perubahan Cibulan dari eks galian pasir menjadi sentra kedelai merupakan secercah harapan di tengah persoalan komoditas ini. Pada 1-3 Januari lalu, para produsen tahu tempe mogok produksi karena harga impor naik dari Rp 7.200 per kg menjadi Rp 9.500 per kg dalam sebulan terakhir.

Selain dampak iklim La Nina, lonjakan harga itu juga karena pasokan dari Amerika Serikat sebagai eksportir terbesar menipis. Sementara China, importir utama kedelai global, meningkatkan permintaannya. Menurut S&P Global Platts, China mengimpor kedelai dari AS mencapai 53,8 juta ton pada 2020-2021. Ini jauh meningkat dibandingkan dengan periode 2019-2020, yakni 18,8 juta ton (Kompas, 5/1/2021).

Harapan warga Cibulan untuk terbang tinggi kini bukan mimpi. Tinggal di desa seluas 687 hektar, yang 513 hektar di antaranya bekas tambang, perubahan yang mereka lakukan seharusnya menjadi pelajaran penting untuk mengabadikan titel agraris bangsa besar ini.

Exit mobile version