Site icon mediatokotani.com

Tumpang Sari di Lahan Pasang Surut untuk Tingkatkan Produksi Kedelai

SariAgri – Kedelai merupakan komoditas penting yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Namun ketergantungan yang tinggi pada kedelai impor menyebabkan masalah ketika harga komoditas tersebut di pasar dunia melonjak.

Guru Besar Bidang Ekofisiologi Fakultas Pertanian IPB University yang juga ahli kedelai Prof. Munif Ghulamahdi mengatakan kenaikan harga kedelai impor saat ini tidak berdampak positif bagi petani kedelai lokal. Hal ini karena kedelai lokal masih kalah bersaing baik dari jumlah maupun harga.

“Saat ini harga kedelai impor sedang naik. Harusnya petani kedelai lokal juga bisa ikut merasakan kenaikan harga namun karena stok tidak ada dan kedelai lokal masih kalah bersaing dari segi harga dan jumlah, petani kedelai lokal juga belum merasakan dampak dari kenaikan harga kedelai impor,” ujarnya saat dihubungi SariAgri.id, Rabu (13/01/2021).

Menurut dia, harga kedelai lokal yang pernah ditetapkan pemerintah sebesar Rp8.500 per kilogram tidak terealisasi di lapangan. Akibatnya banyak petani yang beralih menanam komoditas lain seperti jagung dan padi karena keuntungannya lebih besar.

Kedelai lokal, lanjut dia, memiliki kualitas lebih unggul dari sisi rasa dibanding kedelai impor. Namun dari sisi produktivitas rata-rata kedelai di Indonesia memang masih rendah pada budidaya di lahan kering.

“Kedelai butuh intensitas cahaya matahari yang cukup panjang, ketersediaan air yang cukup dan wilayah timur Indonesia seperti NTT dan NTB sudah dipetakan menjadi wilayah yang cocok untuk budidaya kedelai,” jelasnya.

Munif menjelaskan teknik budidaya kedelai secara tumpang sari di lahan pasang surut dapat menghasilkan jumlah panen lebih besar dibanding secara monokultur di lahan kering.

“Petani jagung di lahan pasang surut bisa melakukan tumpang sari dengan tanaman kedelai dan saya memiliki data-data hasil penelitian mahasiswa saya yang menunjukkan peningkatan hasil cukup tinggi daripada budidaya kedelai secara monokultur,” ungkapnya.

Dia mengilustrasikan sebuah contoh perhitungan keuntungan dari teknik tumpang sari jagung dengan kedelai. Jika dalam satu hektar terdapat 60-70 ribu populasi jagung dapat disisipkan tanaman kedelai sekitar 50 persen dari populasi.

“Hitungan saya itu mungkin kalau kita hitung semua sarana produksi yang kita gunakan untuk menanam kedelai secara tumpang sari di lahan jagung berkisar di angka Rp2 juta per hektar. Kalau kedelai dapat 1 ton hasilnya dengan harga Rp6 ribu maka akan mendapat omzet Rp6 juta. Nah mungkin produksi jagung akan sedikit menurun misalkan dari 6 ton menjadi 5,5 ton. Tapi jika dikalikan dengan harga Rp4 ribu maka akan mendapat omzet Rp22 juta dengan modal budidaya jagung sekitar Rp14 juta per hektar,” jelasnya.

Petani, lanjut dia, masih akan mendapat margin keuntungan dari kedelai sebesar Rp4 juta dan dari jagung Rp8 juta.

“Saya rasa petani akan mau melakukannya jika memang itu bisa menambah keuntungan,” katanya.

Namun, dalam teknik budidaya jenuh air di lahan pasang surut juga terdapat kendala yaitu mengatur tata air dengan waktu tanam harus tepat berdasarkan musim dan curah hujan.

“Kalau di pasang surut itu polanya padi sekali ditanam pada bulan November hingga Maret dan penanaman jagung tumpang sari kedelai harus dilakukan pada bulan April atau Mei maka ketersediaan air akan cukup pada masa awal penanaman dan lahan akan kering pada akhir menjelang tanaman dipanen,” jelasnya.

Dalam teknik budidaya di lahan pasang surut, ketersediaan air yang cukup dibutuhkan pada masa awal penanaman dan pertumbuhan tanaman kedelai. Selanjutnya diharapkan ketika sudah masuk masa pemasakan biji, kondisi tanah dan cuaca bisa lebih kering karena akan memudahkan dan meningkatkan hasil serta kualitas biji kedelai.

Ketepatan waktu tanam di lahan pasang surut akan mempengaruhi hasil dari tanaman. Jika terlambat penanaman, ketika di masa awal pertumbuhan tanaman sudah memasuki bulan kering akan menghambat pertumbuhan akibat lahan kekeringan yang pada akhirnya mengurangi hasil kedelai.

“Kalau kita menentang alam, artinya jika bergerak terlalu lambat ataupun terlalu cepat maka akan ada kemungkinan terkena banjir ataupun kekeringan sehingga menurunkan produksi kedelai di lahan pasang surut,” pungkasnya.

Exit mobile version