Site icon mediatokotani.com

Sumatera & Kalimantan Dilanda Banjir, Harga CPO Terbang

Jakarta, CNBC Indonesia – Harga kontrak futures (berjangka) komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di Bursa Malaysia Derivatif Exchange mengalami apresiasi hingga sesi istirahat siang perdagangan hari ini, Kamis (21/1/2021).

Memasuki minggu kedua bulan Januari, harga kontrak yang aktif ditransaksikan tersebut ambles. Maklum kontrak CPO pengiriman 3 bulan memang memasuki periode masa kadaluwarsanya.

Harga CPO mengalami kenaikan sebesar 2,27% ke level RM 3.294/ton untuk kontrak pengiriman April. Cuaca ekstrem yang melanda kawasan produksi kelapa sawit menjadi salah satu sentimen pemicunya.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah mewanti-wanti akan adanya fenomena La Nina. Fenomena iklim ini akan menyebabkan terjadinya hujan lebat dan cuaca ekstrem yang berpotensi menimbulkan banjir.

Kenyataannya banjir memang melanda sejumlah wilayah di Indonesia. Beberapa daerah yang terkena banjir adalah Sumatra Selatan dan Kalimantan Selatan. Keduanya juga merupakan wilayah sentra produksi sawit.

Apabila mengacu pada data Kementerian Pertanian, total area perkebunan kelapa sawit di wilayah Sumatra Selatan mencapai hampir 1,2 juta hektare sementara di Kalimantan Selatan luasnya mencapai hampir 565 ribu hektare.

Hujan lebat dan banjir tentu menjadi salah satu faktor yang mengganggu rantai pasok industri sawit. Berbagai aktivitas di perkebunan menjadi terhambat. Cuaca yang terlalu ekstrem dan banjir bandang tentu saja menjadi ancaman bagi produksi komoditas ini, sehingga mengerek harganya naik.

Kendati analis dan pelaku pasar masih optimis bahwa harga CPO masih berpeluang menguat di kuartal pertama, tetapi data ekspor yang mengecewakan membuat harga CPO longsor.

Survei yang dilakukan oleh AmSpec Agri Malaysia menunjukkan bahwa ekspor minyak sawit Malaysia pada periode 1-20 Januari drop 41% dibanding periode yang sama bulan lalu menjadi 632.827 ton. Padahal di periode yang sama bulan lalu ekspor Malaysia tercatat sebesar 1.073.663 ton.

Penurunan harga CPO Negeri Jiran juga diakibatkan oleh China yang lebih memilih membeli minyak sawit dari rivalnya yaitu Indonesia. Harga yang sudah mahal ditambah dengan pajak ekspor yang tinggi menjadi faktor penyebabnya. Pajak ekspor minyak sawit Malaysia untuk bulan Februari ditetapkan sebesar 8%.

Dalam laporan terbarunya Fitch Solutions meramal harga minyak sawit kemungkinan akan berada pada level tertinggi 11 tahun di RM 3.050 ringgit (US$ 753,6) per ton pada tahun 2021 karena pasokan yang ketat dan konsumsi yang kuat sebelum turun tahun depan karena kenaikan produksi.

Harga minyak sawit diperkirakan akan terus menurun dalam waktu dekat dari level saat ini karena permintaan dari China dan India turun sebagai akibat dari harga yang tidak kompetitif.

Output minyak sawit akan meningkat di Asia Tenggara mulai paruh kedua tahun ini, sementara harga kedelai pengganti utama dan harga minyak kedelai kemungkinan akan turun akhir tahun ini, tulis Fitch Solutions sebagaimana diwartakan Reuters.

“Namun, akan membutuhkan waktu untuk membangun kembali stok karena saat ini berada di posisi terendah sejak bertahun-tahun dan karena pertumbuhan konsumsi akan kuat tahun ini. Ini akan mendukung harga minyak sawit pada 2021 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” kata Fitch Solutions.

Kekurangan tenaga kerja karena lockdown di Malaysia akibat pandemi telah membebani produksi, mengikis persediaan ke posisi terendah dalam beberapa tahun terakhir dan meningkatkan harga sebesar 18% pada tahun 2020.

“Namun, pada tahun 2022, harga rata-rata akan turun menjadi RM 2.600 per ton karena pertumbuhan produksi minyak sawit diperkirakan akan meningkat di tengah hasil yang lebih tinggi dan penggunaan pupuk yang lebih tinggi,” terang Fitch Solutions.

Exit mobile version