Site icon mediatokotani.com

Petani Garam Kian Terpuruk

Kebijakan meningkatkan impor garam tahun ini merupakan paradoks di tengah stok garam yang menumpuk di sejumlah sentra produksi garam dan anjloknya harga garam petani.

JAKARTA, KOMPAS — Stok melimpah akibat belum diserap pasar hingga anjloknya harga membuat petani atau petambak di sejumlah daerah mengurungkan niat memproduksi garam pada musim ini. Nasib petani kian rentan terpuruk akibat kebijakan impor garam yang ditempuh pemerintah.

Di Jawa Timur, stok garam saat ini mencapai 2,9 juta ton. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jatim mencatat, garam kualitas produksi (KP) 1 mendominasi dengan jumlah sekitar 2,7 juta ton atau 94 persen, disusul garam KP 2 sebesar 152.265 ton (5,2 persen) dan KP 3 sebanyak 15.511 ton (0,5 persen).

Garam KP 1 memiliki kadar NaCl lebih dari 97 persen atau memenuhi kualifikasi garam untuk kebutuhan industri. Tingginya volume produksi garam rakyat dengan kualitas tinggi terjadi karena 60 persen petambak di Jatim menerapkan teknologi geomembran dalam proses produksinya.

Kepala DKP Jatim Gunawan Shaleh mengatakan, dari stok itu, hanya sebagian kecil yang merupakan produksi tahun 2020, yakni 714.724 ton. Selebihnya merupakan sisa produksi tahun sebelum-sebelumnya yang tak terserap pasar.

”Realisasi produksi garam 2020 kurang dari target produksi 1,3 juta ton yang dicanangkan pemerintah. Penyebab rendahnya produksi itu beragam. Salah satunya kegairahan petambak yang merosot karena daya serap pasar rendah,” ujarnya, Senin (15/3/2021).

Jatim merupakan sentra produksi garam nasional dengan kontribusi lebih dari 60 persen. Luas lahan garam mencapai 5,9 juta hektar yang tersebar di 13 kabupaten, antara lain Sampang, Pamekasan, Sumenep, Sidoarjo, Gresik, dan Surabaya. Lahan garam terluas terdapat di Pulau Madura dengan 6.038 petani.

Ketua Himpunan Masyarakat Petambak Garam Jatim Muhammad Hasan mengatakan, petambak saat ini mengalami pukulan bertubi-tubi. Pukulan itu berupa hasil panen yang tidak terserap oleh pasar sehingga menumpuk di gudang garam. Bahkan, petambak kewalahan menyimpan hasil produksi tahun lalu karena gudang masih dipenuhi stok 2019.

Penyimpanan garam yang tidak standar mengancam kualitas dan membuat garam tidak tahan lama. Dengan kualitas yang turun, harga garam bakal semakin anjlok. Pukulan terhadap petani garam dikhawatirkan kian telak saat pemerintah justru meningkatkan impor garam.

Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah berencana mengimpor 3,07 juta ton garam tahun ini, naik ketimbang tahun lalu sebanyak 2,7 juta ton. Data yang dikutip Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menyebutkan, produksi garam nasional tahun 2021 ditaksir 2,1 juta ton. Sementara kebutuhan garam nasional diperkirakan 4,67 juta ton (Kompas, 12/3).

Penyimpanan garam yang tidak standar mengancam kualitas dan membuat garam tidak tahan lama. Dengan kualitas yang turun, harga garam bakal semakin anjlok. Pukulan terhadap petani garam dikhawatirkan kian telak saat pemerintah justru meningkatkan impor garam.

Di Jawa Barat, petani di Kabupaten Cirebon tidak lagi bersemangat memproduksi garam. Hasil panen garam beberapa tahun sebelumnya juga masih menumpuk di gudang karena tidak terserap pasar.

”Di Losari masih ada sekitar 600 ton garam petani belum terserap. Ini produksi tahun lalu, bahkan ada yang tahun 2019. Soalnya, tahun 2020, harganya mentok di Rp 200 per kilogram. Padahal, biasanya Rp 400 per kg. Dengan harga garam di bawah Rp 500 per kg, petani pasti merugi,” kata Saefudin, Ketua Kelompok Petani Garam Wijaya Rasa di Desa Kalisari, Losari, Cirebon.

Harga garam petani yang anjlok setiap tahun, menurut dia, salah satunya dipicu kebijakan impor garam. ”Kalau impornya naik lagi, lebih baik enggak usah ada petani garam. Impor saja semua. Siapa lagi yang mau beli garam lokal?” ujarnya.

Ismail (34), petani di Pangenan, Cirebon, mengatakan, jika yang menjadi soal adalah kualitas garam rakyat, pemerintah seharusnya membantu meningkatkan kualitas, bukan malah meningkatkan impor garam setiap tahun.

Kerugian petani akibat stok menumpuk dan harga yang anjlok juga terjadi di Karawang. ”Modal yang dikeluarkan tidak sebanding. Kami malah merugi,” kata Aep Suhardi, Ketua Koperasi Garam Segara Jaya Karawang.

Modal yang dikeluarkan tidak sebanding. Kami malah merugi.

Sementara itu, di Kabupaten Sabu Raijua yang menjadi salah satu sentra produksi garam di Nusa Tenggara Timur, stok garam yang menumpuk di gudang mencapai 20.716 ton. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sabu Raijua Lagabus Pian mengatakan, stok yang kini menumpuk di gudang itu merupakan produksi 2020 serta sisa stok tahun 2018 dan 2019.

”Gudang-gudang penuh semua sehingga garam itu ditampung hingga luar gudang. Itu pun cuma ditutup pakai terpal. Karena musim hujan, banyak yang kena air. Sekitar 400-500 ton mencair,” kata Lagabus.

Meski kualitas garam di Sabu Raijua bagus, stok banyak yang menumpuk di gudang karena daya serap pasar rendah. Pengiriman garam ke Surabaya, Jawa Timur, yang menjadi satu-satunya tujuan penjualan, hanya berlangsung dua kali per tahun dengan total 1.500 ton.

”Padahal, kami punya kapal kargo dan tol laut. Hanya tidak ada pembeli,” katanya.

Pemasaran dalam negeri

Pemerhati garam di Sabu Raijua, Paulus Dira Tome, mengatakan, jika produksi melimpah dan harga garam turun, seharusnya tidak ada impor garam. Alih-alih tetap impor, pemerintah semestinya fokus pada bagaimana memastikan garam di Tanah Air.

Lagabus berharap pemerintah menghentikan atau menunda impor garam dan mendorong penyerapan garam dalam negeri. ”Kalau tak terserap, kami tidak bisa produksi karena tak ada tempat. Gudang-gudang penuh,” ujarnya.

Selain itu, Lagabus menagih janji pemerintah untuk menghubungkan produsen garam dengan industri yang membutuhkan. ”Sampai sekarang belum ada realisasi. Kalau ada kepastian pasar, produsen tentu tetap mau produksi,” katanya.

Adapun Miftahul dari Asosiasi Petani Garam Sampang di Madura meminta agar pemerintah jujur membuka data kebutuhan garam untuk industri yang harus dipenuhi impor.

Secara terpisah, Juru Bicara Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Muryadi mengemukakan, pembahasan alokasi impor garam diputuskan dalam rapat koordinasi lintas kementerian/lembaga setiap akhir tahun di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

Persoalannya, kata Wahyu, harga impor garam jauh lebih murah ketimbang garam lokal dan bisa didapatkan dengan cara mudah. Dari hasil tinjauan ke Kebumen, Jawa Tengah, pada akhir pekan lalu, pihaknya menerima keluhan dari Bupati Kebumen bahwa pasar garam konsumsi diserbu garam dapur impor dari India yang dijual di pasar dengan murah atau banting harga.

”Kunci utama melindungi garam rakyat adalah mengontrol importasi agar tidak meluber sampai ke pasar domestik rakyat, merugikan dan mematikan garam rakyat,” katanya.

Wahyu menambahkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan akan fokus pada peningkatan kualitas dan nilai tambah garam rakyat dari aspek hilirisasi, di antaranya dengan memberi bantuan pendampingan riset dan teknologi agar kualitas garam bisa menjawab kebutuhan industri. Upaya lain, pengolahan berupa pemurnian garam dengan mesin pencucian garam dan solusi memperpendek mata rantai penjualan garam.

Exit mobile version