Pilarpertanian – Salah satu strategi Kementan menggenjot produksi komoditas hortikultura yang sehat dan berdaya saing adalah implementasi program Gerakan Mendorong Produksi, Daya Saing dan Ramah Lingkungan Hortikultura (Gedor Horti). Salah satunya dengan melakukan langkah-langkah tepat mengantisipasi dampak perubahan iklim. Pendekatan adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim, pengukuran konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) berupa pengukuran nitrogen oksida (N20) dan Carbon dioksida (CO2) dilakukan pada tanaman bawang merah di Kampung Sayuran Hortikultura.
Di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul – Yogyakarta terdapat kurang lebih 140 hektare lahan bawang merah dengan potensi wilayah mencapai 600 hektare. Kampung sayuran ini disinyalir sudah melakukan penerapan budi daya kawasan ramah lingkungan yang ditandai dengan penerapan dan pemanfaatan embung dan penggunaan teknologi hemat air berupa irigasi sprinkle.
Dirjen Hortikultura, Prihasto Setyanto menegaskan bahwa masalah efek GRK memang perlu ditanggulangi bersama-sama. “Iya, betul. Saya sudah mengarahkan kepada Direktur Perlindungan untuk segera melakukan pengukuran GRK pada tanaman bawang merah organik dan bawang merah konvensional. Itu sudah berlangsung dan dalam waktu dekat kita bisa menyimpulkan,” ujarnya Senin, (3/5).
Dirinya paham betul dampak negatif dari GRK ini. Anton, panggilan akrabnya, tidak menampik apabila GRK tidak ditanggulangi secara bersama-sama maka bisa berakibat buruk pada ekosistem tanaman.
“Ini sudah menjadi permasalahan global jadi kita semua harus ikut berkontribusi untuk merawat bumi. Pemanasan global bisa menghambat pertumbuhan tanaman. Dampak lebih buruknya bisa memicu terjadinya kekeringan dan gagal panen,” tegasnya.
Direktur Perlindungan Hortikultura, Inti Pertiwi juga menyampaikan bahwa tahun ini, Tim Dampak Perubahan Iklim dan Bencana Alam bekerja sama dengan Balintan, Pati dan BPTPH Yogyakarta berkonsentrasi dalam pengukuran GRK. Outputnya berupa terukurnya nilai gas Nitrogen Oksida (N2O) dan Karbondioksida (CO2).
“Tim saat ini berada di lokasi. Tepatnya di kampung hortikultura kawasan bawang merah ramah lingkungan di Nawungan, Imogiri Bantul. Hal ini kita harapkan bisa menjadi langkah konkret dalam rangka mengantisipasi peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di sub sektor hortikultura”. Katanya.
Koordinator Dampak Perubahan Iklim dan Bencana Alam, Direktorat Perlindungan Hortikultura, Muhammad Agung Sunusi saat ditemui di lapangan juga menjelaskan bahwa pengukuran gas rumah kaca ini dilakukan secara bertahap.
“Iya, ini kita laksanakan selama lima periode. Sekarang ini adalah periode awal pengukuran. Pengukuran selanjutnya dilakukan pada umur 15 hari setelah tanam (HST), disusul 30 HST, 45 HST dan 60 HST. Dengan demikian, pengamatan dan pengambilan sampel terpenuhi,” terangnya.
Di tempat berbeda, Ketua Kelompok Tani Lestari Mulyo, Juari mengapresiasi langkah Kementan ini. Juari menilai bahwa sejauh ini memang petani tidak menyadari jika penggunaan pestisida dan pupuk kimia bisa meningkatkan kadar konsentrasi GRK.
“Alhamdulillah sekarang itu kita dapat ilmu dari Kementan tentang berbudi daya ramah lingkungan. Penggunaan PGPR, Trichodherma, penggunaan liat kuning dan pemanfaatan refugia bisa berdampak pada penurunan efek GRK di sektor hortikultura ini,” paparnya.
Petani bawang merah itu juga berpesan kepada seluruh petani di negeri ini untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia. Ada pupuk kandang atau pupuk kompos yang bisa menggantikan. Begitu juga dengan pestisida bisa substitusi dengan likat kuning dan lampu pengusir hama atau light traps.(PW)