mediatokotani.com – Irma Suryani Lumban Gaol berangkat sejak pagi ke kawasan food estate di Desa Siria-ria, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara pada Kamis, 26 Januari 2023.
Irma yang merupakan petani sejak tahap awal proyek lumbung pangan pada 2020 itu mendapat kabar akan hadir para anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) bersama pejabat Kementerian Pertanian (Kementan) dari Jakarta untuk mengecek megaproyek ini.
Untuk menyambut rombongan dari Jakarta itu, terlihat jajaran Bupati Humbang Hasundutan sudah sibuk menyiapkan tenda besar berwarna biru dan putih, dengan sejumlah bangku berderet layaknya akan melakukan hajatan.
Tenda itu dibangun di area depan food estate, tepatnya di tengah lahan milik petani yang bermitra dengan PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Sekeliling tenda terlihat hijau dengan tanaman kentang yang tumbuh subur.
Lahan food estate banyak yang jadi lahan tidur
Irma memilih duduk di bangku paling belakang bersama petani food estate lainnya. Para anggota dewan dan jajaran Kementerian Pertanian duduk di sisi yang bersebrangan. Selama acara berlangsung, para anggota Komisi IV mengajukan sejumlah pertanyaan pada petani, khususnya soal kabar kegagalan megaproyek itu.
Tapi hingga akhir acara, Irma tak diberi kesempatan menjawab pertanyaan-pertanyaan anggota dewan tersebut. Malah beberapa petani yang duduk di barisan paling depan yang dipersilakan oleh Bupati Humbang Hasundutan Dosmar Banjarnahor untuk menjawab rentetan pertanyaan tersebut.
Setelah agenda tanya jawab itu berakhir, Irma menyayangkan para anggota dewan hanya berkeliling di lahan kentang yang subur. “Padahal sekarang lebih banyak jadi lahan tidur. Udah jadi belukar gitu, lah,” cerita Irma kepada Tempo sambil berjalan menuju lahan miliknya yang berjarak sekitar 1 kilometer dari tenda.
Berbeda dengan kawasan lahan kentang Indofood tadi, jalan menuju lahan milik Irma belum diaspal. Setiap harinya, Irma menyusuri jalan yang terjal dan licin akibat genangan air hujan.
Sekeliling lahan dipagari pohon pinus yang menandakan perbatasan dengan hutan lindung. Sepanjang perjalanan, terlihat ratusan hektar lahan food estate terlantar hingga menjadi semak belukar.
Sebagian besar lahan tersebut ditinggalkan petani lantaran tak sanggup lagi menanam usai gagal panen. Pada mulanya, tutur Irma, para petani mendapatkan bantuan dari pemerintah melalui Kementerian Pertanian berupa pembukaan lahan, pemberian pupuk, obat-obatan, dan benih.
Tidak ada pendampingan atau bantuan dari pemerintah
Meski tanpa pengalaman sama sekali, Irma berusaha mempelajarinya. Namun, ia berharap Kementan tetap memberikan pendampingan dan bantuan penyerapan hasil panen seperti yang dijanjikan.
Harapan itu juga yang mendorongnya mendatangi audiensi degan Komisi IV DPR. Ia berharap pemerintah bisa memberikan bantuan modal para petani agar lahan-lahan yang terbengkalai itu bisa digarap dan dijual dengan harga yang pantas.
Pemerintah berburu calon investor
Untuk mengejar target tersebut, Van Basten kini gencar menggaet calon investor. “Saya sudah keliling ke tujuh perusahaan yang saat ini menjadi offtaker. Sekarang kami sedang tawarkan empat model usulan kerjasama,” anak buah Menteri Luhut Pandjaitan itu saat ditemui di Dolok Sanggul, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara pada Kamis, 26 Januari 2023.
Hingga saat ini ada tujuh perusahaan swasta yang sudah menjadi offtaker di food estate Humbang Hasundutan, yaitu PT Parna Raya, PT Indofood, PT Aden Farm, PT Ewindo, PT DSR, PT BISIS, dan PT Champ.
Berdasarkan catatan Bupati Humbang hasundutan, PT Parna Raya bermitra dengan petani untuk komoditas bawang merah dan bawang putih. Sedangkan PT Indofood, PT Eden Farm, PT Ewindo, dan PT Champ untuk komoditas kentang. Sementara PT DSR untuk komoditas kentang, bawang merah, dan buncis. Terakhir PT BISI untuk komoditas jagung.
Ada empat skema yang ia tawarkan kepada calon penyuntik modal. Skema pertama, kerja sama petani dengan perusahaan swasta sebagai offtaker. Berdasarkan MoU, kata dia, perusahaan sudah sepakat akan menyerap seluruh hasil budi daya petani dan meminjamkan benihnya. Sementara pupuk dan tenaga kerja berasal dari petani. Alhasil, petani mendapatkan uang hasil penjualan dikurangi biaya modal.
Kemudian skema yang kedua, semuanya biaya ditangung oleh investor. Contohnya, biaya budi daya kentang sebesar Rp 130 juta, maka investor akan memberikan dana tersebut. Kemudian petani hanya bekerja sebagai tenaga kerja harian. “Anggap lah (upahnya) Rp 80.000 sampai Rp 90.000 per hari. Berarti kalau dia kerja aja selama 25 hari, mungkin sudah dapat Rp 2 juta,” ucapnya.
Lalu skema kerja sama yang ketiga, pemerintah akan membuat lahan percontohan. Untuk menggarap lahan ini, pemerintah akan menggaet pusat penelitian dari dalam maupun luar negeri. Lahan itu akan digunakan sebagai pusat pelatihan bagi para petani.
Target pembukaan lahan besar-besaran ini mendapat kecaman dari sejumlah aktivis pegiat lingkungan. Salah satunya yang dimuat dalam laporan Green peace yang berjudul ‘Food Estate: Menanam Kehancuran, Menuai Krisis Iklim’.
Berdasarkan laporan tersebut, pembangunan proyek food estate yang dilakukan pemerintah Indonesia disebutkan pengusulan kawasan lumbung pangan mencakup lahan-lahan milik masyarakat adat, lahan gambut kaya karbon, serta kawasan hutan lindung yang berpotensi menciptakan masalah baru di masa depan.
Pembukaan lahan food estate juga berdampak meningkatkan potensi kebakaran lahan gambut dan melepaskan emisi karbon dalam jumlah yang besar. Juru kampanye Hutan Senior Greenpeace, Syahrul Fitra menilai proyek ini tak sejalan dengan janji pemerintah terhadap dunia internasional yang berkomitmen mengurangi emisi karbon untuk mencegah krisis iklim.
Berdasarkan laporan Bank Dunia pada Januari 2022, pencetakan lahan-lahan baru seperti yang dilakukan pemerintah Indonesia melalui proyek food estate telah menyumbangkan sepertiga dari emisi gas rumah kaca global.
Di sisi lain, Syahrul menilai food estate juga dapat memperburuk ketahanan pangan nasional. Pasalnya, food estate akan menyeragamkan pangan masyarakat dan mengurangi kedaulatan pangan masyarakat Indoensia yang beragam.
Sementara itu, Van Basten menilai pengelolaan food estate yang ramah lingkungan akan terjadi seiring berkembangnya teknologi yang digunakan dalam menggarap lumbung pangan itu. Tetapi ia mengaku tak mungkin pemerintah mundur dari proyek ini demi kepentingan lingkungan.
“Iya memang satu sisi kan kita masih butuh pangan. Ya memang itu enggak bisa bohong, lah,” kata dia.
Dia berujar proyek food estate mendesak untuk mengurangi importasi pangan di Tanah Air yang ia nilai masih sangat tinggi. Van Basten berujar tanaman yang didorong oleh pemerintah dalam proyek ini juga merupakan komoditas yang tingkat pengadaan dari luar negerinya masih tinggi, seperti bawang putih, gandum, dan gula atau tebu.
Baca Juga: Bulog Yogyakarta Salurkan Beras Program SPHP Melalui Toko Tani Indonesia