mediatokotani.com – Jumlah lahan dan SDM pertanian semakin lama semakin berkurang. Anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Marsudi Wahyu Kisworo menyatakan, ketika minat masyarakat untuk menjadi petani semakin berkurang, kita tidak bisa lagi bicara padat karya, namun harus menggunakan teknologi.
Solusi untuk memecahkan masalah tersebut adalah dengan menggunakan inovasi teknologi alat pertanian yang menggunakan tenaga listrik dan memanfaatkan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
“Kita boleh saat ini gencar mengembangkan mobil listrik. Tapi para engineer juga bisa membuat alat-alat pertanian yang menggunakan tenaga listrik, misalnya, bagaimana membuat traktor otonom (tanpa awak) dengan bertenaga listrik dari panel surya. Jadi inovasi kita harus diarahkan ke sana (alat pertanian),” ungkap Marsudi, pada Webinar Ruang Pembelajar, Trending Inovasi Pangan dan Energi, yang diselenggarakan Lembaga Pelatihan Kompetensi Teknik dan Manajemen Industri, Sabtu (25/3).
Selain itu, inovasi juga harus mengarah pada smart farming. “Smart farming melibatkan berbagai macam disipiln ilmu, mulai dari IT, elektro, internet of things (IoT), dan sebagainya, untuk pertanian yang lebih cerdas, sehingga semua bisa diautomasikan,” katanya.
Tren inovasi selanjutnya adalah precision farming, misalnya memanfaatkan drone untuk menyebarkan pupuk dan air, sehingga efisien dan tidak boros. “Teknologi IoT juga diperlukan untuk mendeteksi tanaman, misalnya kapan harus diberikan air, jika cukup, otomatis kerannya ditutup, dan sebagainya,” tambah Marsudi.
Bicara soal produksi pertanian, lanjut Marsudi, kunci utamanya adalah bagaimana meningkatkan produktivitas di hulu, salah satunya dengan melakukan genetic engineering.
Dirinya juga menyinggung soal kondisi ketahanan pangan Indonesia pada 2023. Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas), komoditas garam, gula, daging ruminansia, bawang putih, dan kedelai masih bergantung impor.
“Maka, jika berinovasi, para engineer fokuskan pada komoditas-komoditas itu,” kata Marsudi.
Ketika melakukan inovasi teknologi dengan genetic engineering, yaitu bagaimana bibit itu dimodifikasi, sehingga produktivitasnya meningkat. “Misalnya produksi tebu, rata-rata satu hektar hanya menghasilkan 60 hingga 70 ton tebu per hektar. Di India atau Brazil, bisa 140 ton tebu per hektar. Jadi dua kali lipat, sehingga genetic engineering ini diperlukan,” tandasnya.
Tidak kalah pentingnya, tutur Marsudi, pada tahap transportasi bahan baku, kita membutuhkan teknologi pascapanen. “Indonesia adalah negara dengan food loss atau pangan yang rusak cukup tinggi, mencapai 30 persen,” ungkapnya.
Dikatakan Marsudi, gudang penyimpanan dengan dinding beton, menyebabkan bahan baku pangan seperti beras cepat rusak. “Inovasi controlled atmospheric storage (CAS) merupakan ruang penyimpanan, tapi atmosfernya dikendalikan, sehingga bakteri-bakteri pembusuknya tidak hidup, salah satunya dengan menggunakan ozon. Di luar negeri sudah biasa, tapi di Indonesia belum banyak yang mengembangkan,” ulasnya.
Menurut Marsudi, negara eksportir pangan besar dunia tidak selalu negara dengan lahan yang luas. Negara pengekspor pangan besar dunia tertinggi adalah Amerika, Serikat, Belanda, Jerman, dan Brazil.
“Kalau kita punya produksi pangan yang tinggi, kita tidak perlu luas lahan yang besar, yang diperlukan adalah teknologi. Mereka (negara eksportir pangan besar dunia) sangat gencar memanfaatkan inovasi-inovasi teknologi, mulai dari teknologi hulu hingga hilir, sehingga menghasilkan produktivitas pangan yang tinggi,” tuturnya.
Lebih lanjut Marsudi mengatakan, kehadiran BRIN bertujuan mengonsolidasikan sumber daya iptek, yaitu SDM, infrastruktur, dan anggaran, untuk meningkatkan critical mass, kapasitas, dan kompetensi riset Indonesia.
“BRIN hadir untuk mewujudkan ekosistem riset dan inovasi berstandar global, bersifat terbuka (inklusif) dan kolaboratif bagi semua pihak, baik akademisi, industri, komunitas, dan pemerintah,” katanya.
Indonesia menargetkan jadi negara maju pada 2045, dengan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita sebesar USD 23 ribu. Sementara pada 2022, PDB per kapita mencapai USD 5 ribu.
“Untuk keluar dari negara dengan pendapatan kelas menegah (Middle income trap/MIT), kita harus menerapkan inovasi untuk bangsa. Pondasi ekonomi berbasis riset diperlukan, harus berkesinambungan, dan berfokus pada digital, green and blue economy,” pungkasnya.
Baca Juga: Pemerintah Buka Keran Impor Beras 2 Juta Ton, Apa ya tujuannya?