mediatokotani.com – Perubahan iklim menjadi tantangan besar bagi sektor pertanian Indonesia, terutama subsektor hortikultura yang menyediakan berbagai komoditas strategis seperti cabai dan bawang merah.
Mengatasi hal tersebut, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) menginstruksikan seluruh jajarannya untuk melakukan langkah adaptasi dan mitigasi. Langkah ini juga dilakukan untuk mengamankan produksi pangan dan menjaga keseimbangan lingkungan.
Menindaklanjuti arahan ini, Direktur Jenderal Hortikultura Prihasto Setyanto mengerahkan jajaran fungsional Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman (POPT) di Direktorat Jenderal Hortikultura untuk melakukan upaya mitigasi gas rumah kaca (GRK).
“Ini arahan Presiden dan Pak Menteri untuk menyikapi dampak perubahan iklim yang diperkirakan terjadi beberapa bulan ke depan. Kita harus fokus untuk mengantisipasi ini. Para POPT saya minta untuk langsung turun melakukan upaya-upaya mitigasi dan antisipasi dini,” ujar Prihasto dalam keterangan tertulis, Sabtu (20/5/2023).
Lebih lanjut, Prihasto menyampaikan hasil analisis Ditjen Hortikultura menunjukkan budidaya ramah lingkungan dan budidaya konvensional di kampung sayuran berkontribusi besar dalam penurunan GRK. Hal ini menunjukkan subsektor hortikultura tidak hanya berperan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, melainkan juga menjaga kelestarian lingkungan.
“Kami telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produksi hortikultura yang ramah lingkungan, seperti penggunaan pupuk organik, pestisida nabati, pengolahan tanah minimalis, penghematan air irigasi dan penerapan teknologi pertanian modern. Hasilnya, kami berhasil menurunkan emisi GRK dari subsektor hortikultura sebesar 15% pada tahun 2021 dibandingkan dengan tahun 2020,” katanya.
Sementara itu, Direktur Perlindungan Hortikultura Jekvy Hendra mengakui Pengukuran emisi GRK pada komoditas prioritas hortikultura wajib dilakukan.
“Perlu saya sampaikan bahwa pengukuran emisi Gas Rumah Kaca pada komoditas hortikultura cabai dan bawang ini adalah salah satu langkah inventarisasi yang dilakukan oleh Kementan. Pengukuran ini tentunya dilakukan untuk melihat GRK khususnya CO2 dan N2O yang dihasilkan dari lahan-lahan pertanian,” jelas Jekvy.
Di sisi lain, Koordinator Dampak Perubahan Iklim dan Bencana Alam Muh. Agung Sunusi menjelaskan tahun ini Ditjen Hortikultura akan melakukan pengukuran Emisi GRK pada 2 komoditas. Adapun komoditas ini antara lain, bawang merah di Kecamatan Argapuran Kabupaten Majalengka dan cabai di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung.
“Kami fokus di 2 (dua) lokasi ini untuk melihat sampai sejauh mana potensi penurunan emisi GRK pada Budidaya Ramah Lingkungan dibandingkan dengan budidaya konvensional di daerah dataran tinggi,” papar Agung.
Agung menambahkan dari pengukuran ini, nantinya akan terlihat pada fase apa budidaya ramah lingkungan dan konvensional yang berkontribusi dalam penurunan emisi GRK.
Salah satu petani hortikultura yang merasakan manfaat dari upaya mitigasi GRK Pipit pun mengaku senang dengan hasil panennya yang meningkat sejak menerapkan budidaya ramah lingkungan.
“Alhamdulillah, sejak saya pakai pupuk organik dan pestisida nabati yang diajarkan oleh petugas POPT, hasil panen cabai kami meningkat pesat. Cabai kami juga lebih sehat dan tahan lama,” ujar Ketua kelompok tani Bernard Tani, Desa Wanasari, Pangalengan, Bandung Selatan, Jawa Barat tersebut.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh Kementan melalui Ditjen Hortikultura ini diharapkan dapat mendorong subsektor hortikultura yang berdaya saing di tengah perubahan iklim yang semakin ekstrem.
Baca Juga: Presiden Jokowi Hampiri Petani yang Sedang Panen, Cek Langsung Harga Gabah