mediatokotani.com – Pembangunan Ibu Kota Nusantara atau IKN di Kalimantan Timur sampai saat ini terus dikebut. Selain mendirikan bangunan-bangunan utama sebagai sarana prasarana sebuah ibu kota baru, kepastian ketersediaan pangan untuk penghuni IKN pun disiapkan sejak dini.
Apalagi mulai akhir tahun ini atau tahun depan direncanakan sudah mulai ada aparatur sipil negara dipindahkan ke IKN. Keberadaan mereka tentu membutuhkan terpenuhinya kebutuhan dasar, seperti air, listrik, dan pangan.
Provinsi Kalimantan Timur dengan jumlah penduduk 3,79 juta jiwa sampai saat ini masih mendatangkan sebagian kebutuhan pangan dari luar. Keberadaan IKN tentu akan menambah populasi di provinsi ini, yang juga harus dibarengi dengan ketersediaan pangan.
Bahan pangan yang didatangkan meliputi produk tanaman pangan, hortikultura, peternakan seperti daging sapi, kambing, dan lainnya, terutama sapi yang masih 72 persen didatangkan dari luar daerah.
Kebutuhan pangan akan bertambah ketika ada penambahan penduduk di IKN, yakni dimulai pada 2023 yakni sebagian ASN pindah sebagai persiapan menyongsong IKN pada 2024. Bahkan diperkirakan pada 2045 di kawasan IKN saja dihuni sekitar 1,9 juta jiwa.
Jaminan ketersediaan pangan itu pula yang ditegaskan Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) Myrna A. Safitri ketika berbincang dengan awak media di Samarinda pekan lalu.
Saat ini, misalnya, di kawasan inti IKN sudah tersedia 24,7 hektare (ha) lahan pertanian yang keberadaannya akan dioptimalkan untuk membangun ketahanan pangan setempat.
Lahan seluas itu akan dimaksimalkan sebagai salah satu prinsip utama dari ekonomi sirkular pangan. Kemudian juga dilakukan intensifikasi berkelanjutan, termasuk perluasan terhadap lahan menjadi minimal 25.600 ha atau 10 persen dari luas wilayah IKN.
Adapun untuk lahan pertanian secara keseluruhan di Kaltim, terutama di daerah yang dekat dengan IKN, diperlukan pendekatan berbasis data sebagai proyeksi penggunaan lahan, produktivitas pangan, serta konsumsi pangan yang digerakkan oleh usaha-usaha intensifikasi berkelanjutan hingga tahun 2045.
Hal lain yang sedang dilakukan Tim OIKN adalah penentuan perlindungan terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B), mulai dari perencanaan, inventarisasi, identifikasi, penelitian, penetapan, pengembangan, pembinaan ke masyarakat, hingga pengendalian lahan.
Secara garis besar, strategi ketahanan pangan di IKN terdiri atas berbagai elemen, seperti mempertahankan sebagian aset kawasan pertanian dengan pertimbangan sudah berjalannya kegiatan pertanian secara tahunan dengan penduduk sekitar yang berprofesi sebagai petani.
Kemudian melakukan intensifikasi berkelanjutan terhadap pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan yang sedang berjalan di kawasan IKN maupun sekitarnya.
Dalam hal ini, lahan yang ada harus dilakukan intensifikasi, terutama melalui teknologi pertanian guna mendongkrak produktivitas. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan kepada petani adalah dengan pembinaan sekaligus pendampingan berkelanjutan.
Hal lain adalah melakukan pengembangan food estate (kawasan lumbung pangan) di Kaltim sebagai lahan relokasi bagi lahan produksi pangan lokal yang terdampak atas adanya pengembangan wilayah IKN.
Termasuk membuat rekomendasi urban farming, pemanfaatan sisa pangan, dan evaluasi industri pangan nilai tambah, sebagai pemenuhan ekonomi sirkular produksi pangan dalam kota.
Urban farming perlu dilakukan untuk mendukung budi daya pertanian dalam arti luas, baik tanaman pangan, peternakan, perkebunan, dan lainnya di sekitar IKN sehingga warga setempat memperoleh nilai tambah yang akan meningkatkan kesejahteraan mereka.
“Kita harus mampu memproduksi pangan yang sehat dan berkualitas sehingga pola pertanian yang diterapkan adalah pertanian yang cerdas, yakni pertanian yang tidak menggunakan material kimia, juga tidak mencemari lingkungan. Semua prosesnya dengan menggunakan material organik,” kata Myrna.
Myrna dalam simposium bertema “Memperkuat Ekosistem Pertanian Berkelanjutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan IKN dan Kalimantan Timur” di Samarinda pada 11 Juli lalu menegaskan bahwa seluruh rencana pembangunan di IKN tersebut dilaksanakan secara bertahap, cermat, dan berkelanjutan.
Luas LP2B IKN
Pelaksana Tugas Direktur Ketahanan Pangan OIKN Setia Lenggono menyebutkan bahwa proyeksi kebutuhan LP2B di IKN hingga tahun 2045 mencapai 84,25 ribu ha, yang terdiri atas sembilan komoditas utama.
Rinciannya adalah untuk komoditas jagung seluas 19.008 ha lahan LP2B dengan produktivitas sebanyak 3,24 ton per ha, untuk memenuhi konsumsi sebanyak 100.270 ton per tahun guna menopang penduduk IKN sekitar 1,9 juta jiwa pada 2045.
Untuk komoditas beras membutuhkan lahan seluas 22,45 ribu ha dengan proyeksi produktivitas mencapai 9,87 ton per ha, guna memenuhi konsumsi penduduk IKN, dengan kebutuhan 221.630 ton per tahun, atau setiap penduduk mengonsumsi beras rata-rata sebanyak 116,6 kg per tahun.
Untuk komoditas sayur mayur, kebutuhannya diprediksi sebanyak 217,25 ribu ton pada 2045 sehingga dibutuhkan lahan LP2B di IKN seluas 13.780 ha dengan produktivitas sebanyak 15,77 ton per ha.
Pada komoditas buah-buahan diproyeksikan membutuhkan lahan seluas 1.605 ha dengan produktivitas 81,12 ton per ha, yang akan menghasilkan buah segar untuk memenuhi konsumsi sebanyak 130,35 ribu ton per tahun.
Selanjutnya adalah komoditas kedelai dan tanaman minyak, yang diharapkan mampu mencukupi kebutuhan warga IKN dengan jumlah 30.525 ton. Untuk mencukupinya dibutuhkan lahan LP2B seluas 15.042 ha dengan produktivitas 2,03 ton per ha.
Kebutuhan singkong dan umbi-umbian lain untuk penduduk IKN pada 2045 diprediksi sebanyak 98.975 ton dan membutuhkan lahan LP2B seluas 3.186 ha dengan produktivitas sebanyak 31,06 ton per ha.
Kebutuhan daging ruminansia bagi warga IKN diproyeksikan sebanyak 8.343 ton. Untuk mencukupinya dibutuhkan lahan peternakan seluas 7.299 ha yang mampu menghasilkan daging karkas sebanyak 1,14 ton per ha.
Berikutnya adalah komoditas daging unggas yang diproyeksikan dibutuhkan sebanyak 35.113 ton. Untuk mencapainya diperlukan lahan seluas 1.824 ha yang mampu menghasilkan daging unggas sebanyak 12,84 ton per ha.
Untuk susu segar dibutuhkan sebanyak 27.491 ton per tahun atau pada 2045, yang untuk memenuhinya dibutuhkan dukungan lahan seluas 56,25 ha guna memelihara hewan penghasil susu yang mampu memproduksi sebanyak 488 ton per ha/tahun.
Urban farming
Untuk mencukupi kebutuhan pangan bagi penduduk IKN tidak melulu mengandalkan lahan khusus pertanian, tapi juga bisa didukung melalui pola urban farming atau pertanian perkotaan dengan memanfaatkan pekarangan rumah, atap gedung, hingga pertanian tanpa0 tanah seperti hidroponik.
Direktur Perbenihan Tanaman Pangan Dirjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian RI Yudi Sastro menilai urban farming dapat mendukung antara 30 hingga 40 persen terhadap kebutuhan pangan di kawasan IKN.
Urban farming bisa diterapkan di hampir semua tempat di kawasan IKN mulai di Rumah Tapak Jabatan Menteri pada Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) roof top pada rumah susun, ruang terbuka hijau (RTH), hingga pekarangan tiap rumah/bangunan.
Untuk mencapai ini, maka penduduk IKN dapat diajak turut mendukung melalui konsep yang dibuat OIKN, sehingga tiap individu akan termotivasi untuk sama-sama mewujudkan.
Pendekatan budi daya tanaman pola organik, ramah lingkungan, dan pemanfaatan sampah organik kota dapat diaplikasikan dalam upaya melakukan urban farming, sehingga melalui pola ini dapat menghasilkan bahan pangan sehat dan berkualitas karena tanpa menggunakan material kimia.
Melalui pola ini, maka penduduk IKN dapat memanfaatkan tiap pekarangan untuk ditanami hortikultura yang menjadi kebutuhan pokok sehari-sehari dengan menggunakan pot, kantong tanam atau polybag, maupun lainnya guna menanam cabai, tomat, sayur, bawang, dan jenis lain yang dibutuhkan.
Ketersediaan lahan seperti yang direncanakan di IKN tersebut memberi kepastian jaminan ketersediaan pangan bagi penduduk di ibu kota baru tersebut.
Bukan hanya cukup secara jumlah, melainkan jenis pangan yang lebih sehat karena seluruh aspek produksi tanaman dan peternakan sejak awal dirancang dengan menerapkan pertanian organik.
Baca Juga: Mahasiswa UB Latih Petani Mengolah Limbah Menjadi Pupuk Kompos