mediatokotani – Sorghum saat ini sedang dipromosikan sebagai pangan lokal yang dikembangkan oleh Kementerian Pertanian. Dalam keynote speech webinar tentang sorgum Jumat lalu (23 Juli), Ditjen Tanaman Pangan, Suwandi mengatakan tanaman sorgum tidak hanya sebagai pengganti beras, tetapi juga sebagai bahan pangan, bahkan dapat menghasilkan bioetanol. “Sorghum merupakan tanaman yang sehat, mudah tumbuh, biaya produksi rendah, dan sangat bermanfaat untuk kesehatan, ujarnya.
Sorghum cocok untuk penderita diabetes (karena kandungan gulanya yang rendah dan kandungan seratnya yang tinggi), dapat menjaga berat badan, mencegah pertumbuhan sel kanker, dan menurunkan kadar kolesterol darah. Bagi petani Indonesia, sorgum bukanlah tanaman baru, tetapi sudah menjadi bahan pangan di NTT, Jawa Timur dan Jawa Barat. Hingga 2020, Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian telah mengalokasikan 3.500 hektar untuk mendukung sorgum, yang akan tumbuh menjadi 5.000 hektar pada tahun 2021, dan 10.000 hektar akan dialokasikan pada tahun 2022.
Sorghum merupakan tanaman keras yang dapat tumbuh baik di daerah kering dan marginal seperti NTT, merupakan tanaman organik (karena digunakan untuk pupuk, kompos, dll), dan dapat dipanen berkali-kali dari perkebunan (2-3 kali), merupakan tanaman yang sehat, nilai gizinya sama dengan beras dan jagung, bahkan sorgum memiliki kandungan serat yang lebih tinggi dari beras. “Kami di Badan litbang pertanian sudah bisa menghasilkan 13 varietas sorghum. Ini dapat dipilih oleh masyarakat sesuai tujuan yang diharapkan,” sebutnya.
Pada saat yang sama, Profesor Ratno Sutjiptadi memandang sorghum dari sudut pandang yang berbeda, ia mengatakan bahwa sorgum bukanlah tanaman lokal, melainkan tanaman dunia. Sorghum hanya tumbuh di daerah tropis, sehingga Indonesia dapat menjadi pengekspor sorghum dunia. “Indonesia sangat mampu memproduksi sorghum dalam skala besar, tidak hanya sebagai bahan pangan, tetapi juga sebagai sumber energi terbarukan. Pertamina sangat tertarik dengan sorghum sebagai tanaman energi terbarukan karena hanya membutuhkan waktu 3 bulan untuk berproduksi, sedangkan produksi minyak sawit butuh waktu 4 tahun, jadi sorghum lebih unggul,” ujarnya.
Ratno mengatakan jika sorghum digunakan sebagai sumber energi, setidaknya dibutuhkan 14.000 hektar (kilang minyak kecil), dan perlu fokus pada pengurangan biaya produksi (dari penambangan hingga mekanisasi pengolahan) tanpa meningkatkan biaya. “Ini adalah kesempatan besar bagi daerah untuk menggunakan daerah mereka sebagai percontohan energi terbarukan.” tambahnya.
Petani sorghum dari Kolaka Timur, Hamka Iskandar dan Bagus Cahyo Kurniawan dari Lamongan sepakat bahwa sorghum adalah tanaman bebas limbah. Tidak ada kerugian dari batang ke biji, dan biaya produksi sangat rendah, satu tanaman bisa dipanen 2-3 kali bahkan 4 kali. Batangnya dapat memproduksi gula cair, etanol dan bubur jelai untuk pakan ternak. Biji gandum dapat menghasilkan beras sorghum yang sangat sehat, tepung sorghum, bahkan ampas batang sorghum yang digunakan untuk pakan ternak, daging sapi menjadi wangi dan rendah kolesterol.
Dengan peluang tersebut, pemerintah mulai memperkenalkan sorghum sesuai dengan rencana nasional, namun menurut Indra Rochmadi, koordinator jagung dan serelia lain, pengembangan sorghum tidak terlepas dari komersialisasi produksi sorghum itu sendiri. Jika ada pasar, pengembangan sorghum mudah dan berharap bisa mencapai 100% di tahun 2022.