REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA–Perluasan lahan bukan menjadi satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan produksi pangan nasional. Perluasan lahan pertanian saat ini sulit dilakukan mengingat terbatasnya jumlah lahan yang masih memungkinkan untuk dipakai untuk kegiatan pertanian dan jumlah penduduk yang terus meningkat.
Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, pemerintah seharusnya fokus pada peningkatan efisiensi lahan yang sudah ada, peningkatan kapasitas petani dan revitalisasi alat pertanian serta pabrik-pabrik yang sudah tua. Menurutnya, perluasan lahan saat ini juga cukup sulit dilakukan sehingga perlu ada upaya lain yang ditempuh.
“Faktor yang menyebabkan sulitnya perluasan lahan pertanian terwujud, salah satunya adalah gencarnya industrialisasi dan pembangunan infrastruktur. Industrialisasi dan pembangunan infrastruktur tidak jarang malah harus mengorbankan lahan pertanian,” kata Felippa, Selasa (12/1).
Ia menambahkan, perubahan lain yakni jumlah penduduk yang terus meningkat. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia terjadi sangat cepat. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan populasi Indonesia akan mencapai 319 juta orang di 2045. Jumlah penduduk yang bertambah harus diikuti dengan peningkatan produktivitas pertanian untuk menyediakan pangan untuk masyarakat. “Lahan sifatnya terbatas, namun produktivitas akan bisa terus ditingkatkan,” kata dia.
Peningkatan produktivitas pertanian di lahan yang ada dapat dilakukan melalui pengembangan kapasitas petani, pengembangan bibit berkualitas, maupun penggunaan alat-alat pertanian yang lebih efisien dan pembaharuan metode tanam,” jelasnya.
Penggunaan alat-alat pertanian yang lebih efisien dan pembaharuan metode tanam sangat erat kaitannya dengan efisiensi produksi. Felippa menjabarkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh International Rice Research Institute (IRRI) pada tahun 2016 menemukan bahwa rata-rata ongkos produksi beras di Indonesia sekitar Rp 4.079 per satu kilogram beras.
Ongkos tersebut 2,5 kali lebih mahal dari Vietnam (Rp 1.679) dan 2 kali lebih mahal dari Thailand (Rp 2.291) dan India (2.306). Biaya produksi beras di Indonesia juga lebih mahal 1,5 kali dibandingkan dengan biaya produksi di Filipina (Rp 3.224) dan China (Rp 3.661).
Studi IRRI juga menunjukkan komponen dari ongkos produksi yang besar ini adalah sewa tanah (Rp 1.719) dan biaya tenaga kerja (Rp 1.115) untuk memproduksi satu kilogram beras tanpa sekam. Produktivitas tenaga kerja yang rendah di Indonesia telah berkontribusi pada rendahnya daya saing sistem usaha tani padi dan telah berkontribusi pada kemiskinan di daerah pedesaan.“Penguasaan teknologi di kalangan petani juga belum menjadi sesuatu yang memasyarakat. Hal ini tentu membutuhkan waktu,” ujarnya.
Selain itu, revitalisasi alat pertanian dan mesin pengolahan juga penting dilakukan karena hal ini sangat memengaruhi produktivitas pangan. Untuk itu, CIPS menyarankan agar pemerintah seharusnya mendukung pengembangan teknologi pertanian dan mendorong peningkatan investasi untuk riset dan pengembangan.