Jakarta – Upaya peningkatan produksi pangan khususnya padi seringkali digagalkan oleh serangan hama dan penyakit, dan tikus menjadi salah satu OPT yang meresahkan petani.
Menurut Kementerian Pertanian, serangan tikus pada 2021 (Januari hingga Juli) pada padi mencapai 68 ribu hektar, dan petani menggunakan berbagai metode untuk mengusir hama pengerat tersebut.
Pengendalian hama dilakukan melalui penerapan prinsip-prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHT), salah satunya adalah penggunaan musuh alami. Teknik pengendalian pra tanam seperti gropyokan, pengomposan, umpan, dan penggunaan musuh alami (predator), dalam hal ini burung hantu (tyto alba).
Burung hantu (Tyto alba) adalah predator nokturnal (malam). Burung hantu merupakan pemburu tikus yang handal, sehingga dapat menjadi predator alami yang efektif dalam memerangi serangan tikus.
Dalam satu hari, satu burung hantu dapat membunuh 3-7 ekor tikus di lahan seluas sekitar 12 hektar. Penggunaan burung hantu sebagai predator untuk pengendalian hama perlu diperluas dengan memperkuat perlindungan burung hantu. Misalnya, membangun dan menempatkan rumah burung hantu di sawah dan menambah jumlah peternakan burung hantu.
Pada kesempatan webinar Propaktani Episode 60, beberapa waktu lalu, Dirjen Tanaman Pangan Suwandi mengatakan, pihaknya telah memetakan daerah endemis serangan tikus.
“Solusi di daerah ini tidak hanya dengan burung hantu, tetapi juga dengan Gerdal, pengemposan, pmembuat sekat pematang mengarah pada penerapan prinsip-prinsip PHT,” katanya.
Sementara itu, Direktur Perlindungan Tanaman Takdir Muladi dalam paparannya menyatakan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Pertanian Berkelanjutan bahwa pertanian dilindungi melalui sistem pengelolaan terpadu untuk pengendalian hama dan pengelolaan dampak perubahan iklim. Hal tersebut menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, serta Petani, Pelaku Usaha, dan masyarakat.